Aku rasa postingan kali ini mungkin akan relate bagi sebagian orang.
Aku selalu merasa ada semacam prinsip legendaris yang diturunkan dari keluarga: prinsip “simpan aja, siapa tahu nanti dibutuhkan.” Kayak prinsip ini tuh udah mendarah daging entah sejak kapan. Bahkan sampai hari ini, aku masih sering banget ketemu barang random di tas atau lemari, terus mikir, “kenapa aku masih punya ini?” Tapi ujung-ujungnya, tetap aja aku biarin di situ. Hmm...
Salah dua yang berhasil aku sortir tiap lagi good mood adalah struk ATM dan struk pembelian. Dulu aku punya kebiasaan nyimpen struk ATM di dompet dan juga dalam tas. Masalahnya, struk itu jika dibiarkan terlalu lama cuma numpuk jadi kertas kosong yang tintanya udah hilang tertelan waktu. Aku pernah nyimpan banyak struk kosong. Pas ada salah satu struk yang tintanya masih oke, siapa sangka ternyata itu keluaran dua ribu sembilan belas.
Selain itu, ada juga struk pembelian. Contoh: belanja bulanan atau beli skincare atau aksesoris handphone, kadang aku suka simpen struknya. Kalau buat garansi aktif, masih masuk akal ya. Tapi kalau cuma menyimpan karena enggan membuang, rasanya pengen nyadarin diri aku saat itu juga. Aku bahkan ketawa sendiri pas nemuin struk pembelian kopi dari beberapa tahun lalu. Apa gunanya? Nggak ada. Tapi tanganku berat banget buat buang.
Untuk struk ATM dan struk pembelian, aku udah biasain buat nggak perlu nyimpan itu. Soal histori rekening kan udah bisa diakses lewat ponsel. Sedangkan, struk pembelian, kalau nggak penting ya ikhlaskan aja buat dibuang.
Nah, kalau yang ini agak berat nih. Kotak barang. Bisa dikategorikan jadi guilty pleasure aku nih. Misalnya punya parfum baru, aku sayang banget sama packaging-nya. Boks itu rasanya kayak bagian dari experience. Jadi meskipun parfumnya udah aku pakai (bahkan sampai habis), boksnya masih aku simpen rapi di lantai, di laci, atau di sudut mana. Alasannya? Nanti bisa jadi konten. Tapi ya gitulah, kontennya nggak pernah belum jadi-jadi. Kotaknya malah jadi ngabisin space, numpuk kayak tumpukan dosa yang berawal dari sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit.
Begitu juga sama kabel random. Charger lama, kabel USB yang udah nggak compatible, atau earphone rusak. Aku masih keep dengan harapan: nanti siapa tahu masih berfungsi. Tapi kenyataannya, bertahun-tahun tetap nggak berguna. Yang ada malah jadi sarang debu.
Sebenarnya aku udah ada niat nulis hal lain. Eh, harus ditunda dulu lantaran topik yang satu ini beneran masih anget-angetnya.
Seperti biasanya, aku bangun pagi. Mencoba mengawali hari dengan penuh semangat. Aku buka laptop dan melakukan step by step rutin yaitu nyalain internet, tapi oh tapi hari ini ada yang beda. Tombol Wi-Fi (yang biasanya muncul di pojok kanan bawah pas diklik ikon network) mendadak hilang.
Kemana larinya tombol itu?
Aku kira itu masuk hidden icons secara nggak sengaja. Tapi ternyata, di sana pun tetap nggak aku temukan.
Aku coba reset laptop, gagal. Coba matikan laptop sebentar terus nyalain lagi, gagal.
Aku putuskan cara andalanku kalau tiba-tiba koneksi internet bermasalah: klik troubleshoot problems, ternyata cara ini juga nggak membantu.
Terus aku harus gimana?
Aku pun lari ke mbah Google. Aku cari tuh dengan masukkin apa yang keluar pas aku klik troubleshoot problems. Yaitu an Ethernet cable is not properly plugged in or might be broken. Di bagian atas, hasilnya keluar beberapa video pilihan YouTube.
Aku sering banget iseng ngecek statistik blog. Entah kenapa, ada kepuasan tersendiri tiap lihat grafik naik turun naik. Kemarin, aku cukup dibuat kaget pas lihat view blogku naik signifikan. Lumayan tajam juga lonjakannya, sampai bikin aku mikir, “Hah, ada angin apa nih? Kok tiba-tiba rame?” Biasanya jumlah view-nya nggak segininya. Jadi ya otomatis aku kepo, cari tahu postingan mana yang lagi banyak dibaca orang.
Ternyata oh ternyata, postingan tentang ketemu Raditya Dika yang jadi magnetnya. Saat itu aku suka nulis pakai kata gue-lo. Aku langsung senyum sendiri, “Ah, postingan lawas ini ternyata masih ada yang baca.”
Throwback ke masa itu.
Aku inget banget, hari itu aku niat banget ke Malang Town Square buat ikut acara meet and greet plus signing buku “Koala Kumal”-nya Raditya Dika. Aku datang sendirian dan waktu itu aku bener-bener nekat aja. Demi bisa lihat dan ketemu langsung penulis favorit, I was like, “Ya udahlah, gas pokoknya!”
Sampai sana sekitar jam dua siang, dan aku beneran nggak nyangka kalau antriannya udah semengular itu, udah sampai ke luar toko buku Gramedia. Aku syok! Rasanya pengen pulang aja. Tapi ya masa udah capek-capek ke sana terus balik gitu aja? Jadi aku tahan. Aku ikut ngantri, dan jujur itu geraknya cuma secuil tiap beberapa menit. Untungnya aku bawa buku Koala Kumal yang mau ditandatangin nanti, lumayan bisa nge-distract rasa bosan.
Nah, di tengah kebosanan itu, aku buka BBM (iya, BBM yang sekarang udah RIP itu). Aku liat status temen kampusku, sebut aja Afgan. Statusnya singkat tapi bikin aku kaget: "Antriannya... Wow... :O"
Aku langsung bales, "Lo di mana, Gan?"
Dia jawab, "Gue dekat buku masakan, lo di mana?"
Ternyata dia pinter juga, nggak ikut antri dari luar. Dia pakai jalan pintas, naik tangga dari Gramedia lantai satu ke lantai dua. Aku mikir, “Gila, kenapa aku nggak kepikiran dari tadi?” Akhirnya aku ikut cara dia, dan bener-bener menghemat waktu serta tenaga. Jadi, makasih banget, Gan… eh, Afgan maksudnya.
Acaranya berlangsung dengan lancar meski hanya dua jam. Aku pun berhasil dapat tanda tangan di bukuku dan tentu aja foto bareng sama Raditya Dika.
Dan ini gong-nya. Aku baru nyadar sepuluh tahun kemudian kalau ternyata ada foto versi lain yang nggak pernah aku lihat sebelumnya.
Pernah nggak sih kamu punya momen di mana kamu akhirnya nekat ngelakuin sesuatu yang dari dulu cuma ada di angan-angan? Di bulan pertama tahun 2025 aku ngalamin hal itu. Aku sempet tulis di blog ini (klik di sini kalau mau throwback) gimana akhirnya aku memberanikan diri buat kirim naskah pertamaku via DPS Gramedia. Rasanya waktu itu campur aduk banget. Antara excited, nervous, dan agak nggak percaya diri. Nano-nano deh. Tapi aku tahu, kalau aku nggak coba, aku nggak akan pernah tahu. Dan aku pikir, yaudah, kirim aja dulu, urusan nanti diterima atau nggak itu belakangan.
Nggak kerasa, tiba-tiba aja udah delapan bulan lewat sejak aku kirim naskah via DPS. Bayangin, delapan bulan yang penuh dengan “what if”, rasa penasaran tiap kali login ke portal DPS Gramedia, hingga niatan ingin coba kirim terus selama masa tunggu naskah (yang akhirnya hanya wacana belaka.)
Seiring waktu berjalan, status naskahku di DPS berubah-ubah. Kalau belum familiar, sistemnya gini: setiap naskah bisa dikirim ke maksimal tiga penerbit. Apabila ditolak satu penerbit, maka naskah otomatis dilempar ke penerbit selanjutnya. Jadi prosesnya kayak estafet.
Tanggal kembar itu selalu punya vibe yang beda. Entah kenapa, setiap angka kembar muncul di kalender (kayak 8.8, 11.11, atau 12.12) langsung kebayang flash sale, promo gede-gedean, dan orang-orang berlomba checkout barang wishlist mereka.
Biasanya aku termasuk tim “lihat-lihat doang” setiap tanggal kembar. Kadang-kadang sih aku ikut checkout, tapi seringnya malah cuma scroll beranda marketplace sambil mikir, “Aku tuh sebenernya butuh apa sih?” Soalnya pengalaman udah ngajarin, promo besar memang menggoda, tapi kalau barangnya nggak benar-benar dipakai, ujung-ujungnya cuma numpuk di rumah. Meskipun kadang masih suka kalap sih, meskipun tahu nggak benar-benar butuh. Awalnya aku pikir, ya udah akan lewat gitu aja. Tapi kayak biasa, tangan ini nggak bisa diem pas tanggal kembar. Buka Shopee terus scrolling iseng, eh malah nemu banner promo yang bikin mata langsung melek: keanggotaan Shopee VIP bonus ChatGPT Plus gratis selama 3 bulan.
Ada tiga durasi keanggotaan Shopee VIP: satu bulan, tiga bulan, dan enam bulan. Berhubung paling hemat yang enam bulan, jadi aku sekalian ambil yang enam bulan aja. Dengan merogoh tiga puluh ribu dikurang seribu.
Aku kembali.
Bulan Juli lalu aku hanya berhasil publish satu tulisan. Yup, hanya satu.
Berbeda dengan dulu, aku nggak mau nge-push diri sendiri buat nulis tiap hari, karena terbukti seringnya malah jadi wacana belaka. Merencanakan satu hari satu post itu kelihatannya ambisius, tapi ujung-ujungnya cuma bikin aku merasa gagal pas nggak bisa konsisten. Jadi kali ini aku bikin aturan baru buat diri sendiri: asal sempat, asal ada yang pengen diceritain, yaudah tulis aja. Tanpa beban, tanpa target.
Dan hari ini, aku mau ceritain mengenai foto scrunchie yang terjual di Shutterstock.
Entah kenapa, ini bikin aku ingat postinganku di blog ini yang bahas scrunchie (klik di sini). Yang baca tulisan itu ternyata banyak juga, bahkan kayaknya tiap hari ada aja beberapa view masuk ke post itu. Aku nggak nyangka. Orang-orang mungkin nemu blogku karena lagi nyari ide jualan handmade, tutorial bikin ikat rambut, atau mungkin karena nyari kata "scrunchie" di Google dan nyasar ke sini. I don't know. Tapi aku senang aja rasanya, tulisan itu masih dikunjungi sampai sekarang.
Beberapa minggu lalu (26/6), aku dikejutkan dengan kedatangan kurir. Masalahnya, paketku masih dalam perjalanan jauh dan rasanya itu bukan paket milik saudaraku. Apa jangan-jangan salah alamat lagi? Karena belum lama, ada paket nyasar yang ditaruh di rumahku, padahal jelas-jelas nomor rumahnya beda. Mungkin kurir familiar dengan digit-digitnya, jadi belum lihat seksama sudah main naruh aja.
Kali ini paketnya tepat sasaran. Pas aku terima paket itu, ternyata memang ditujukan buat aku. Paket apa nih? Kok gede.
Aku baca data pengirimnya, ternyata dari SEEDBACKLINK.Kejutan membahagiakan apa ini? Alhamdulillah...
Aku salut sama cara ngepaknya. Bubblewrap nggak nanggung dan ada fragile tape-nya karena ternyata salah satu isinya adalah barang pecah belah. Pastinya, aku buka paket dengan sehati-hati mungkin.
Apa aja isinya?Ternyata isinya ada tiga item eksklusif dari Seedbacklink.
Jujur nih, aku termasuk generasi yang kadang suka bilang: “nanti aja deh, toh belum wajib.” Termasuk soal KTP Digital alias IKD (Identitas Kependudukan Digital). Udah digaung-gaungkan sejak 2023, tapi aku baru bener-bener ngurusin di tahun 2025. Kudet? Bisa jadi. Mager? Mungkin. Tapi alasan utamanya lebih kompleks daripada itu. Dan yap, aku baru tau ternyata prosesnya... nggak serumit yang aku kira, tapi juga nggak sesederhana itu sih.
Memang harus ngalamin sendiri biar bisa bagikan pengalaman.
Sampai akhirnya, ada satu anggota keluargaku yang ngajakin ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) buat urus KTP Digital. Alasannya? Bikin-bikin aja. Nah karena aku nggak pengen ribet bolak-balik hanya untuk ini, yaudah lah, sekalian aja bikin. Berhubung tiap hari pasti ada aja yang ngurus ini-itu di Dispendukcapil, belum tentu besok atau minggu depan atau tahun depan bisa dateng lagi dengan mood yang sama, makanya aku putuskan untuk ikut bikin juga. Walaupun dalam hati masih rada skeptis, “Ini beneran bakal berguna nggak sih?”