Decluttering? Easy to Say, Hard to Do

26 Agustus 2025

Aku rasa postingan kali ini mungkin akan relate bagi sebagian orang.

Aku selalu merasa ada semacam prinsip legendaris yang diturunkan dari keluarga: prinsip “simpan aja, siapa tahu nanti dibutuhkan.” Kayak prinsip ini tuh udah mendarah daging entah sejak kapan. Bahkan sampai hari ini, aku masih sering banget ketemu barang random di tas atau lemari, terus mikir, “kenapa aku masih punya ini?” Tapi ujung-ujungnya, tetap aja aku biarin di situ. Hmm...

Salah dua yang berhasil aku sortir tiap lagi good mood adalah struk ATM dan struk pembelian. Dulu aku punya kebiasaan nyimpen struk ATM di dompet dan juga dalam tas. Masalahnya, struk itu jika dibiarkan terlalu lama cuma numpuk jadi kertas kosong yang tintanya udah hilang tertelan waktu. Aku pernah nyimpan banyak struk kosong. Pas ada salah satu struk yang tintanya masih oke, siapa sangka ternyata itu keluaran dua ribu sembilan belas. 

Selain itu, ada juga struk pembelian. Contoh: belanja bulanan atau beli skincare atau aksesoris handphone, kadang aku suka simpen struknya. Kalau buat garansi aktif, masih masuk akal ya. Tapi kalau cuma menyimpan karena enggan membuang, rasanya pengen nyadarin diri aku saat itu juga. Aku bahkan ketawa sendiri pas nemuin struk pembelian kopi dari beberapa tahun lalu. Apa gunanya? Nggak ada. Tapi tanganku berat banget buat buang.

Untuk struk ATM dan struk pembelian, aku udah biasain buat nggak perlu nyimpan itu. Soal histori rekening kan udah bisa diakses lewat ponsel. Sedangkan, struk pembelian, kalau nggak penting ya ikhlaskan aja buat dibuang.


Nah, kalau yang ini agak berat nih. Kotak barang. Bisa dikategorikan jadi guilty pleasure aku nih. Misalnya punya parfum baru, aku sayang banget sama packaging-nya. Boks itu rasanya kayak bagian dari experience. Jadi meskipun parfumnya udah aku pakai (bahkan sampai habis), boksnya masih aku simpen rapi di lantai, di laci, atau di sudut mana. Alasannya? Nanti bisa jadi konten. Tapi ya gitulah, kontennya nggak pernah belum jadi-jadi. Kotaknya malah jadi ngabisin space, numpuk kayak tumpukan dosa yang berawal dari sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit.

Begitu juga sama kabel random. Charger lama, kabel USB yang udah nggak compatible, atau earphone rusak. Aku masih keep dengan harapan: nanti siapa tahu masih berfungsi. Tapi kenyataannya, bertahun-tahun tetap nggak berguna. Yang ada malah jadi sarang debu.

Eh jangan salah, aku pernah coba decluttering. Seperti, ikut tren KonMari Method. Konon, kalau barang itu udah nggak spark joy, buang aja. Tapi ternyata nggak semudah itu, Ferguso. Masalahnya, hampir semua barang terasa spark joy buat aku.

Ada satu pengalaman yang bikin entah-apa-ya-sebutannya. Dulu aku pernah ikhlasin satu barang kayak semacam mata gantungan kunci. Aku buang karena mikir: “ini nggak perlu disimpan, toh udah rusak.” Beberapa bulan dan tahun kemudian, aku tiba-tiba inget barang itu. Aku nyari ke mana-mana sampai bongkar ke sana kemari. Baru sadar, oh iya, dulu kayaknya sih udah aku buang. Rasa sesalnya tuh ada. Mau aku beli gantungan kunci baru, feel-nya itu beda. Dari situ, aku jadi makin hati-hati. Lebih tepatnya, makin takut ngelepasin barang. Karena ada ketakutan, “kalau suatu hari nanti aku nyariin ini, gimana?” 

Yang sebenarnya mungkin nggak gimana-gimana.

Yaaa aku tahu: 90% (anggap aja segini) barang yang aku simpen itu nggak akan pernah aku pakai lagi. Tapi tetep aja, the fear of regret is stronger than logic. Ini kayak toxic relationship antara aku dan benda mati.

Kadang aku bikin alibi buat diri sendiri kayak ini-nanti-bisa-jadi-bahan-konten atau ini-pasti-kepake kok. Tapi nyatanya, barang-barang itu cuma jadi benda diam di sudut-sudut kamar, ngeliatin aku tiap hari. Space jadi sempit, lantai penuh, lemari sesak. Tapi anehnya, aku malah comfort dengan keberadaan mereka. Serem nggak sih kalau dibiasain dan dibiarin? Menurutku sih iya, serem. Karena kalau levelnya udah akut, jatuhnya malah hoarding disorder. 

Decluttering itu bukan cuma soal buang barang. Buat aku, itu lebih ke the art of letting go. Latihan ikhlas. Dan ternyata, itu kurang lebih beratnya kayak move on dari orang yang pernah singgah. Barang-barang itu jadi semacam anchor dari momen-momen dalam hidup. Kayak tiket bioskop yang dulu nontonnya bareng sahabat, karcis parkir mall, atau boks reed diffuser pertama, kedua, ketiga. Meskipun itu cuma benda mati, memorinya nempel. Dan itu yang bikin tangan ini selalu ragu buat ngelepasin.

Aku mungkin pernah nanya sama diri sendiri: “apa aku sebenarnya sentimental person atau aku cuma malas buang?” Maybe both. Tapi aku yakin, banyak orang relate sama ini. Kita hidup di era di mana consumerism ngajarin buat beli-beli-beli, tapi jarang ngajarin buat melepas. Alhasil, rumah penuh barang. Kepala juga penuh beban.

Menurutku, yang paling susah itu barang yang punya memori khusus. Kayak baju lama, hadiah, atau benda yang ngingetin sama individu, kelompok, atau kenangan tertentu. Rasanya kayak betrayal kalau aku buang. Tapi aku coba ubah pola pikir: memorinya ada di kepala, bukan di barangnya. Kalau memang berharga, aku nggak akan lupa meski barangnya hilang atau nggak ada lagi. Sounds wise, tapi prakteknya? Ya ampun, tetep berat.

Kadang aku kepikiran juga: kalau suatu hari aku pindah rumah, apa aku mau bawa semua ini? Rasanya nggak mungkin. So, sooner or later, aku harus hadapi kenyataan bahwa aku nggak bisa nyimpen semuanya. Declutter itu bukan cuma soal barang, tapi juga soal mental space.

post signature

Posting Komentar

Tinggalkan jejak yuk ^^ Jangan pelit- pelit~ ❤