Disappear at San Francisco

8 Juni 2014



 Karya Pasangan Nomor 3 (@dsianakd & @gi_author)


“Paspor udah?”
Kuanggukan kepala.
“Tiket?”
Aku mengangguk.lagi.
“Ponsel?”
Ku angkat HP-ku, memutarnya ke kanan dan kiri di depan wajah Frans. “Udah semua, kok. Tadikan udah di cek berulang kali,” tegasku meyakinkannya.
Frans mendelik, kemudian menghentikan semua pengecekannya atas barang-barang yang hendak ku bawa.Aku tersenyum, mengerti maksud dari kekhawatiran lelaki itu.
Ku edarkan pandangan keseluruh sudut Bandara Soekarno Hatta. Pikiranku kembali dipenuhi pertanyaan yang menyesakkan; apakah semuanya akan sama seperti ini ketika aku kembali empat tahun nanti? Apa masih ada yang tersisa untukku di kota ini?
Tepukan pelan menderat di bahuku, “Gate 5.” Frans memberitahu.
Aku menoleh, mengerti. “Frans…”
“Apa? Ada yang ketinggalan?” tanyanya cemas.
Matanya kutatap lekat, pendar itu serasa memutar kenangan yang pernah kami lalui bersama. “Ada.”
Dahinya terlipat, “Penting, gak?”
Kusunggingkan senyum untuknya, “Sangat penting,” jawabku tersipu.
Dia melirik jam tangannya, “Gimana, dong? Keburu gak kalau aku bawa dulu?”
Serentak aku menggeleng, “Gak usah kemana-mana.Yang ketinggalan itu ada di sini,” paparku seraya mengusap dada kiri lelaki itu.
Frans menyeringai, diraihnya tanganku dengan lembut. “Aku akan menjaganya buat kamu,” bisiknya tanpa ragu.
Tak bertahan lama, genggamannya segera kutepis. Kubenarkan posisi sling bag, dan bersiap-siap untuk melanjutkan langkah menuju area check in. Baru beberapa langkah aku masuk, Frans berseru memanggilku, “Ra!” Sontak, aku membalikkan badan. Menghadap ke arahnya lagi.
“Selesai kuliah, cepat pulang! Gak usah lama-lama di sana,” pintanya nanar.
Aku terbata, hatiku mencelos mendapati wajah sendunya. “Iya, Sayang.”
Antrean panjang menyambutku di tempat pemeriksaan. Saking padatnya, jajaran ini terlihat seperti kumpulan semut.
“Mbak, tiketnya?” sapa petugas saat aku tiba di ruang tunggu. Petugas berseragam itu melanjutkan, “Paspor?”
Setelah menerima dokumen penting yang ku serahkan, petugas itu sibuk mencatat sesuatu. “Silakan masuk ke pesawat, tempat duduk Anda nomor 11A,” pungkasnya sesaat kemudian.
Senyum lebar dengan ekspresi bersahabat disertai tatapan ramah pramugari menjadi pengiring langkahku di dalam pesawat itu. Segera mataku mengitari area ini, mencari tempat duduk nomor 11A.
Aku menoleh ke tempat duduk di sampingku saat mengaitkan safety belt. Tempat itu di duduki lelaki berpostur tubuh tinggi tegap dengan gaya rambut setengah berdiri yang di miringkan ke kanan, bermata tajam dengan bola mata abu-abu, dan tulang pipi yang menonjol.
“Tristan?!” pekikku tanpa sadar dengan mulut menganga. Volume suaraku naik beberapa oktaf, antusiasme berlebihan benar-benar melingkupiku saat ini. Bahwa, aku nyaris tak sadar bahwa penumpang lain turut mengamati kegaduhanku.
Aku menatap lelaki di sampingku dengan tidak percaya.
Benarkah lelaki itu Tristan Gerrald?
Artis yang tengah naik daun saat ini?
YaTuhan…
Tristan mengatupkan mulutnya rapat, melirihkan suaranya agar terdengar samar oleh para penumpang yang lain.
“Kamu? Tristan Gerrald?” ulangku dengan nada bicara penekanan yang dikecilkan. Sepasang alisku terangkat, mataku membulat. “Benar, kan?”
Lelaki itu menoleh sekejap, dia menatapku dengan tatapan hangat dan bersahabat, membuat tatapku kian berbinar. “Ya, aku Tristan Gerrald,” jelasnya dengan bibir merekah indah.“Dan, kamu?”
Aku terperangah. “Maura,” ucapku terbata. Kupikir antusiasme saat bertemu dengan lelaki terkenal di tanah airku akan ditanggapi tanpa acuh. Tapi ternyata, dia berbeda. Barangkali, sebagian orang popular memang tidak angkuh saat menyapa masyarakat biasa sepertiku.
* * *

Tak lama, aku pun benar-benar terbang bersama Garuda Indonesia Airways. Tapi sayang, aku tidak melintasi Samudera Pasifik. Pesawat yang aku tumpangi tidak memperoleh izin untuk mendarat di Bandara Eropa. Mungkin hal itu dikarenakan kondisi pesawat, entahlah.
Setelah memakan waktu kurang lebih dua jam terbang bersama burung  besar berpedang biru itu, maka aku dan yang lainnya pun turun dari pesawat menuju transfer desk.
Penerbangan selanjutnya bersama Malaysia Airline System, dari Kuala Lumpur menuju Frankurt.
Untuk kali kedua, aku transit di Frankurt. Bandaranya sangat rapi, bersih, dan wanginya yang harum serasa memanjakan ruang napasku. Kemudian, aku melanjutkan penerbangan bersama United State menuju Washington DC selama 7 jam melintasi samudera Atlantik.
Aku sudah begitu dekat dengan Negara Paman Sam. Lagi, aku melakukan penerbangan. Kini bersama American Airlines, menuju San Francisco. Sepanjang jalan,  pegunungan menampakkan wajahnya yang unik. Mendekati San Francisco, pemandangan pegunungan yang tertutup salju mulai berganti dengan kabut. Mendung dan kabut merupakan wajah khas San Francisco yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik.
            Roda-roda pesawat yang kami tumpangi mendarat dengan sempurna di terminal 3, area Bandara Internasional San Francisco. Area itu khusus bagi pesawat American Airlines yang melayani penerbangan dalam negeri dan beberapa kota bagian Amerika Serikat.
            Aku pun turun dari pesawat, kemudian dengan sabar mengurusi migrasi. Pandanganku menyapu seluruh sudut Bandara ini. Rasanya nyaman dan menyenangkan, tentu saja.
            Pengurusan berkas-berkas kedatanganku selesai lebih dulu dari yang lain. Karena itulah aku memutuskan untuk berkeliling dahulu menikmati suasana yang tentu tidak akan sering ku jumpai seperti saat ini.
Papan keberangkatan dan juga kedatangan berkedip sesuai jadwal yang ada. Ini bukan Indonesia lagi, ini San Francisco. Orang-orang yang berlalu lalang dan beraktivitas di sekelilingku tidak lagi berkulit sawo matang dengan rambut hitam legam. Yang kulihat di sini orang-orang itu datang dari beragam etnis, warna kulit, warna rambut, dan warna bola mata.
Musim gugur menyambut kedatanganku, menebarkan angin lembut beraroma khas yang istimewa. Bisa aku rasakan wangi khas daun maple yang mulai berubah warna. Sesekali aku memejamkan mata, menikmati sensasi cuaca yang jarangku temui ini.
Aku menenteng beberapa koper yang kubawa dengan susah payah. Ku ayunkan langkah menuju Cable Car[1] yang akan mengantarku menuju apartemen. Hampir tak kusadari, Tristan menyejajari langkahku. Aku terkesiap, terpaku cukup lama mengetahui lelaki itu berada begitu dekat denganku. Kemaja kotak-kotak yang dipakainya terayun lembut di depan mataku.
Tatapan Tristan serasa menawarkan ketenangan untuk hatiku yang gundah. Mata kelabu yang begitu ekspresif, namun begitu mendamaikan jiwa. Jantungku berdegup kencang tidak keruan, aku menahan napas untuk beberapa saat. Lelaki itu seperti mengalirkan ion listrik yang mampu membuatku tersetrum seketika. Sekujur tubuhku menjadi dingin sebab memikul perasaan yang campur aduk seperti ini.
YaTuhan…
“Hai?” sapanya yang tak tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
“Hai. Mm, kamu mau ke mana?” jawabku gugup. Ini tak adil bagi para fans Tristan di Indonesia. Wajahnya yang begitu meneduhkan tak sanggup lagi kuelakkan.
“Aku mau pulang. Di sini rumahku. Kamu?” tanyanya lagi dengan ramah masih dengan aksen Indonesia yang tidak kebule-bule-an.
“Aku mau ke apartemen. Aku mahasiswa baru di UC San Francisco,” senyumanku tak sadar mengiringi penjelasanku kepadanya.
“Wow, amazing! Tidak banyak mahasiswa baru dari Indonesia yang berhasil masuk di sana. Ambil jurusan apa?” tanyanya lagi.
“Kedokteran gigi. Cita-citaku dari kecil. Bersekolah di luar negeri dan menjadi dokter gigi” ceritaku dengan ceria. Obrolan itu berganti ketika Tristan dan aku tengah berada di perjalanan. “Maura, apa kau sudah tahu jalan menuju apartemen? Apa mau aku antar?” tawarnya yang semakin membuat jantungku berdegub tak berirama.
“Tidak usah. Aku akan mencari taksi sendiri. Thankyou, Tristan.” jawabku sok dengan berbahasa Inggris. Tapi apa yang aku dapati? Tristan tetap menjawabnya dengan Bahasa Indonesia.
“Tidak apa-apa. Aku antar saja. San Francisco akan tidak bersahabat jika kamu menolak kebaikan seseorang. Dan mungkin saja aku bisa menjadi tourguide untukmu sementara.”
Sembari melempar tawanya yang begitu bijaksana, Tristan mengambil koperku dan menyuruh sopir taksi memasukannya ke dalam bagasi bersama kopernya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Di sepanjang jalan ia banyak bercerita tentang asal muasalnya mengapa ia bisa menjadi artis di Indonesia. Ceritanya hanya membuatku sesekali mengangguk dan berkata “ya”, lebih dari itu yang keluar dari mulutku hanyalah kalimat tanya.
* * *
Aku melakoni keseharianku di kota ini berusaha dengan penuh semangat. Tristan pun tidak mengingkari janjinya untuk menjadi tourguideku sementara selama Tristan berada di sini. Tristan sering mengajakku pergi jalan-jalan menyusuri kota yang begitu sejuk karena kabut dinginnya. Di sela-sela itu sesekali aku masih sering merindukan Ayah dan Bunda. Dan tentu, Frans. Hubungan jarak jauh yang aku alami sedikit membuatku dilanda rasa rindu yang luar biasa.
Pernah aku bercerita mengenai Tristan kepada Frans melalui e-mail ataupun banyak media sosial lainnya. Dan ternyata begitu bodohnya apa yang telah aku lakukan, Frans begitu langsung terlihat marah, cemburu meluapkan segala sesuatunya yang ingin dia ketahui dengan apapun yang bisa dia lakukan. Video call terutama. Frans memintaku untuk mengenalkan Tristan kepadanya dan meyakinkan Tristan bahwa aku adalah kekasihnya, kekasihnya, kekasihnya, dan kekasihnya.
Untungnya, Tristan pun selalu mengiyakan apa pun kata Frans. Ia begitu memaklumi dengan apa yang dirasakan Frans. “Karena aku pernah merasakannya,” jawab Tristan ketika aku berusaha meminta maaf atas sikap Frans yang terlalu protektif kepadaku. Setelah itu Tristan mulai bercerita banyak tentang masa lalunya.
Aku tahu mengapa Tristan pergi ke Indonesia. Dulu, ia mempunyai seorang kekasih di kota ini. Tristan begitu mencintainya tapi setelah ia diharuskan orangtuanya untuk pergi ke Indonesia ia harus berpacaran jarak jauh. Dan itu tidak bisa berlangsung lama. Ia begitu sakit hati ketika mengetahui bahwa kekasih yang di percayainya selama ini pergi dengan seorang lelaki hidung belang. Semenjak itu ia memfokuskan dirinya untuk selalu di Indonesia walau sering kali Tristan harus pergi ke kota ini untuk mengunjungi grandma dan grandpanya yang masih selalu merindukannya. Oleh sebab itu, Tristan masih selalu menyebut kota ini sebagai rumahnya.
* * *
Masa berkunjung Tristan di San Francisco telah habis. Ia harus pergi ke Indonesia untuk kembali ke rutinitasnya seperti biasa. Menjadi artis yang tengah naik daun.
 “Tristan, apa tidak bisa jika kamu di sini sedikit lebih lama lagi? Aku belum tahu di mana toko buku-buku pelajaran yang bagus. Kamu belum sempat mengajakku ke sana? Aku juga belum tahu toko bahan-bahan rumah tangga? Aku tidak tahu Tristan,” kulukiskan wajah muramku di hadapan artis Indonesia itu. Berharap ia tidak meninggalkanku saat itu juga.
“Hey gadis cantik sawo matang!” Tristan meletakkan koper yang dibawanya sedari tadi dan mengusap pipiku dengan kedua tangannya.
“Kamu bisa main ke rumahku dan bertanya kepada grandma. Okay?” Tristan meyakinkan. Lagi-lagi mata itu berhasil meneduhkanku kembali. Aku hanya diam. Ia mencium keningku. Sekujur tubuhku mendadak terasa dingin. Tak berharap degup jantungku terdengar dari kejauhan.
“Jaga dirimu baik-baik, Maura. Aku janji aku akan datang kembali secepatnya.”
“Aku menunggu janjimu. Jangan lupa kirim e-mail serutin mungkin, ya!” jawabku cepat. Sepertinya mataku berkata bahwa aku akan begitu merindukannya.
* * *
Tristan membuatku merasa bahwa di San Fracisco aku tidak sendiri. Kebetulan yang membuatku bertemu dengannya, kebetulan yang bisa menemaniku sehingga aku merasa bahwa aku mengenal kota ini lebih dalam melalui dirinya. Terima kasih Tristan.
Setelah Tristan, aku berharap ada lagi seseorang yang dapat membantuku kembali tanpa susah-susah buatku mengenakan aksen bahasa Inggris yang harus kulakukan sedikit lebih berpikir. Tapi apa boleh buat, tidak ada manusia keturunan Indonesia lagi di sekitarku. Sedikit banyak membuatku akan lebih canggih berbahasa Inggris.
Sebagai mahasiswa di fakultas kedokteran gigi, aku diharuskan menjadi manusia yang tidak boleh biasa-biasa aja. Tinggi ilmu, pandai menghapal, cekatan, aktif, dan hal lainnya yang memang harus di milikki oleh seluruh mahasiswa di Universitas ini. Aku tidak pernah menyesali hal itu. Karena ini cita-citaku, keinginanku, dan aku harus mempertanggungjawabkannya.
* * *
Liburan semester. Keinginanku hanya satu. Pulang ke Indonesia. Aku sudah sangat merindukan Ayah dan Bunda. Dan juga Tristan. Lalu, Frans kekasihku. Tapi, ketika aku berkata tentang keinginanku tersebut, Tristan segera mencegahku untuk pulang karena Tristan berkata ia hendak berkunjung kembali ke San Fracisco. Ya! E-mail yang kudapat itu seketika membuat hatiku bak cacing kepanasan. Melompat ke sana ke mari. Jika matahari dapat mengimbangi perasaanku yang mencuat, pasti kota ini akan cerah sepanjang hari.
Dua hari lagi Tristan akan berangkat ke San Francisco. Tristan berjanji akan membawaku ke tempat-tempat indah di kota ini. Kota yang penuh dengan aksen modern, rapi, dan tenang.
Aku merapikan diriku. Dari pergi ke salon dan berbelanja banyak pakaian untuk aku berjalan-jalan dengan Tristan nanti. Liburan semester yang akan begitu menyenangkan.
* * *
Spesial. Aku sudah bertekad untuk menjemput Tristan di bandara. Menyambut kedatangan artis Indonesia. Kukenakan sepatu boot ku yang berwarna coklat tua, celana jeans, serta slayer berwarna coklat pula yang terlihat rapi dengan kaos putih polos yang ku kenakan. Semangat sekali aku berangkat menuju bandara. Tak ada rasa lain yang mencuat kecuali rasa bahagia. Sudah kutunggu pesawat ia dari 30 menit yang lalu tapi tak tak datang juga.
Ah, delay!
Kuputuskan untuk menuju sebuah kafe di bandara. Kucari sedikit cemilan agar tidak merusak moodku karena terlalu lama menunggu. Setiap menit kudelikkan mataku ke setiap sudut bandara, berharap tiba-tiba Tristan datang mencariku. Tapi entah, sudah berapa lama aku duduk di café ini memelototkan mataku sedari tadi. Hingga ponsel ku berdering. Tristan Gerrald!
Hallo? Where are you, boy?” tanyaku setelah kuketahui Tristan yang meneleponku.
“Aku di sini. Kamu di mana? Biar aku yang ke sana,” jawabnya tetap terdengar tenang.
“Aku di kafe,” jawabku singkat. Tristan mematikan teleponnya.
* * *
Mendadak entah mengapa kafe ini terlihat begitu ramai. Banyak turis yang wara-wiri menyapu jalanan bandara. Kuusapkan kedua tanganku agar terasa hangat. Entah, aku merasa sangat menggigil saat ini.
“Hai, Maura!” suara yang sangat kukenal. Sekerjap kubalikkan badanku. Terlihat pria yang masih sama kulihat sekitar 6 bulan yang lalu. Hanya saja kulitnya agak sedikit lebih sawo matang.
Oh My God! Tristan, I miss you so much!” kuangkat tubuhku dari kursi yang sedari tadi menopangku. Aku berlari menujunya. Kubenamkan tubuhku ke dadanya yang bidang. Kali ini tanganku sudah terasa hangat jauh berbeda dari rasa dingin yang kurasa tadi.
Tapi, apakah ada yang salah? Tristan tidak membalas pelukanku. Ia tidak seantusias aku. Awalnya aku berpikir bahwa itu hanya perasaanku saja. Tapi, setelah suara itu terdengar… Aku hanya tercengang. Entah apa yang harus aku katakana.
“Oh. Jadi Tristan yang kamu rindukan? Ya! Harusnya aku sudah tahu itu dari awal. Dan seharusnya, aku tidak ke sini untuk menemuimu. Karena yang ingin kamu temui hanya Tristan! Bukan aku!” Frans tidak menatapku yang berada tepat di hadapan Tristan.
“Frans? Kamu… kamu disini?” tanyaku terbata-bata.
“Tidak sadarkah kamu dengan keberadaanku? Oke, Maura. Sekarang aku sudah tahu. Baiklah. Thanks Tristan sudah mengajakku ke sini. Aku akan pulang secepatnya,” kalimat Frans membuat hatiku sangat tertusuk. Betapa bodohnya aku. Betapa menyakitkannya aku untuk Frans.
“Frans, maaf. Aku nggak tahu kalau kamu kes ini. Maaf, Frans,” aku tertunduk, menggenggam tangan Frans dengan sekuat tenagaku yang mulai melemah.
“Awalnya itu kejutan agar kamu semakin bahagia melihat aku datang ke sini. Tapi ternyata…. Hahaha jauh dari perkiraan! Anggap saja kemarin aku hanya berkhayal.” Frans melepaskan tanganku. Menjauhiku dan Tristan. Aku hanya berteriak memanggil namanya.
Tristan yang menahanku agar tidak mengejar Frans. Sementara ia yang mengambil alih untuk mengejar Frans. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi apa pun itu yang membuat Frans juga menepis tangan Tristan yang mencoba mengajak berbicara baik-baik. Hingga Frans pergi dengan bawaanya yang cukup banyak.
“Tristan, kenapa kamu nggak bilang kalau Frans ikut? Kenapa?” aku menangis di hadapan Tristan untuk yang pertama kalinya.
“Dia yang memintaku untuk tidak memberi tahumu. Maaf, Maura.” Dan untuk yang pertama kalinya pula Tristan terasa canggung menggenggam tanganku untuk sekadar menenangkan aku. Dan kalimat serta sorot matanya pun juga sudah tak mampu meneduhkanku lagi.
Tristan, please aku butuh kamu yang meneduhkanku…
“Maaf, Maura. Tadi Frans sudah memutuskan untuk langsung mencari tiket untuk kembali. Ayo aku antarkan kamu pulang.” Masih dengan canggung Tristan merangkulku. Tidak seperti dulu.
“Tristan?”
“Kenapa, Maura?”
“Hanya itu?”
“Maksudnya?”
“6 bulan yang lalu. Ketika aku memanggilmu seperti tadi pasti kamu tidak hanya bertanya ‘kenapa?’ tapi jauh lebih dari itu!” jelasku, mataku berbinar. Tak tahan ingin kutumpahkan air mataku lagi.
“Maaf, Maura. Tapi…”
“Tapi apa, Tristan? Sekarang jawablah pertanyaanku!” kuusap air mata yang mulai mengalir lagi. Tristan hanya menunduk.
“Apa kamu masih mau menepati janjimu untuk mengajakku mengelilingi San Francisco?” tanyaku tegas.
“Aku tidak pernah berjanji itu, Maura. Semua yang ada di e-mailku akhir-akhir ini yang mengirim bukan aku. Tapi, Frans. Maaf Maura.”
Kurasakan kakiku kaku. Sebujur tubuh yang kurasakan terasa lekat oleh aroma dingin. Entah rasa sakit apa yang aku rasakan saat ini. Kehilangan Frans? Atau kehilangan janji yang aku kira itu Tristan?
* * *
Aku hanya merenungkan perasaan itu berhari-hari. Dari hari libur yang tersisa, aku putuskan untuk pulang ke Indonesia. Karena memang Tristan tidak pernah berjanji apa-apa kepadaku. Mungkin yang aku pikirkan, hanya Bunda dan Ayah tempat berliburku yang paling tepat.


[1]Kereta kabel di San Francisco

post signature

8 komentar

  1. Haaii kakak-kakak :3
    Ini Vero_yola :D

    Suka sama ceritanya.
    Berharap ini ada lanjutannya :3 Rasanya kurang panjang, mungkin karena cerpennya yang terkesan simpel dan perasaan tokoh-tokohnya bisa Yola rasain :9
    Keren deh cerpennya!
    By the way, di kalimat "Aku mengangguk.lagi." Lagi-nya itu harusnya huruf kapital 'kan? Soalnya Yola liat tanda titik di belakang huruf k ~ Atau mungkin matanya Yola yang gk fokus(?)
    Last,
    kalau ada lanjutannya, Yola pengen baca lagi yaa? *eeh ;3
    Semangat menulis kakak-kakak! ^^
    Tetap berkarya! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo, Yolla! :) Trims buat komentarnya. Iya, cerpen ini banyak typo. :( Aku kurang jeli pas self-edit, hihi.

      Hapus
  2. Yeeahhhh Keren, Bisa ngambil hikmahnyaaa :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trims buat komentar 'keren'-nya. Kritikannya mana, nih? Hehe.

      Hapus
  3. Ciee ini yang kemarin duo ganda itu yaaa... Gue nggak pernah ikutan neh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo dong, di #WritingChallenge berikutnya harus ikut! :D

      Hapus
  4. Hai :)
    Aku @adlin_apriliani :)
    Aku suka sama ceritanya, cara penulisannya juga bagus. Tapi ada beberapa kata yang suka diulang seperti " tak tidak" entah itu disengaja atau bukan. Selain itu nghak ada lagi yg perlu dikomen ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku @dsianakd. Terimakasih Adlin atas koreksinya, iya sebenarnya hanya satu kata yang di pakai. Mungkin kami lupa menghapus dan kurang teliti saat me-revisinya.

      Hapus

Tinggalkan jejak yuk ^^ Jangan pelit- pelit~ ❤