Late Autumn

8 Juni 2014


Karya Pasangan Nomor 4 (@AngginistantiF & @HanLimaa_)

“Kau—“, ucap seorang gadis dengan parau. “Kenapa kau membunuhnya, hah?”, bentak gadis itu. Tapi, nada suara yang keluar dari mulutnya terkesan ketakutan.
“Kau sudah mengetahuinya?”
“Lalu, apa yang akan kau lakukan kepadaku setelah aku mengetahui semuanya, Pembunuh?”
Orang yang diajak bicara gadis itu tersenyum setan. “Kau tidak tahu? Benar-benar tidak tahu?”, katanya licik. “Tentu saja aku akan memperlakukanmu sama dengan aku memperlakukan orang tidak tahu diri itu. Mungkin lebih kejam.”
Perlahan, orang itu merangsek maju. Seringaian setan itu muncul, membuat gadis itu mundur dengan ketakutan yang luar biasa.
            SREET.. Dengan cepat pembunuh itu menarik lengan gadis itu. Dingin. Sebuah pistol menempel di pelipis gadis itu.
“Kami-sama sangat adil, bukan?”
DOORR!
.
Tokyo, 30 Oktober 2014.
Kabar terbaru datang dari Tokyo. Seseorang meninggal akibat luka tembakkan. Polisi masih menindak lanjuti mengenai kejadian ini.
~*~
Tottori, 28 Oktober 2014 (Dua hari sebelum peristiwa terjadi)
            “Kazu-chan! Kau kemanakan PSP-ku, hah?” teriak seseorang dari lantai dua. Suara derap langkah kaki yang menuruni tangga kayu itu terdengar. Seorang pria yang sedang bersantai di soffa empuk berwarna biru tua menoleh, menatap malas ke arah tangga kayu yang terdesain dengan apiknya.
“Kupinjam. Kenapa?”, tanya laki-laki itu enteng ketika melihat orang yang meneriaki namanya telah berdiri di tangga terakhir. Seorang gadis dengan iris hijau zamrudnya, cantik. Kulitnya seputih susu dengan tinggi sekitar 167 cm. Kurus, sangat kurus karena gadis itu memberlakukan program diet dalam kadar berat selama hidupnya. ‘Tidak boleh makanan berlemak’ ‘Kau mau membuatku stres dan akhirnya mati karena gendut, hah?’ dan kata-kata sejenisnya ketika dia sedang berada di restoran atau sedang makan.
            Gadis itu menaikkan rambut coklat tuanya yang terjatuh menutupi mukanya. “Hei, sudah kubilang kan, jangan turun!”, kesal gadis itu konyol kepada rambutnya sendiri.
“Baka! Sampai mulutmu berbusa pun, rambut-rambut anehmu itu tetap tidak akan mendengarkanmu!”, kekeh laki-laki itu.
“Diam! Cepat kembalikan, Kazu-chan. Jangan seenak jidatmu mengambil barang orang lain!”, geram gadis itu. Laki-laki yang mendapatkan geraman itu tersenyum sinis seakan sedang menantang gadis itu untuk mengambil PSP yang sedang ia ‘sandra.’
            Pemuda dengan tinggi 185 cm dan juga iris matanya yang berwarna hitam kelam. Kulitnya putih pucat dengan  rambutnya yang berwarna coklat gelap. Sangat aneh, senyum sinis yang dikeluarkan pemuda itu justru membuat semua gadis menjerit ketika melihatnya.
“Untuk sementara, PSP-mu aku sandra. Kau harus ikut denganku ke Tokyo sore ini. Jadi, cepatlah bersiap-siap!”, titah Kazuhiro tak terbantahkan.
“Ah, tunggu dulu!”, pinta Miyuki cepat dan langsung berlari ke atas. Menaiki dua tangga sekaligus. Heran Kazuhiro dibuatnya. Apakah Miyuki benar-benar seorang perempuan?
            Hanya beberapa detik, Miyuki sudah berdiri di dua tangga terakhir dengan kamera DSLR menggantung indah di lehernya. Gadis itu mengatur gelang fokus dan gelang diafragma kameranya. Mengatur kembali kamera yang selama ini berubah ‘fungsi.’
“Untuk apa kau membawa kamera, hah?”, tanya Kazuhiro tidak mengerti.
“Untuk menghadiri sebuah kasus.”
“Kita ke Tokyo bukan untuk menghadiri sebuah kasus. Baka!”, gemas Kazuhiro. “Cepatlah keluar dari pekerjaan menyusahkan itu!”, saran Kazuhiro asal.
“Hei, jangan pernah menghina pekerjaanku!”, pekik Miyuki tak terima.
“Pekerjaan katamu? Hei, sadarlah! Kau ini sangat takut melihat mayat.” Memang benar adanya apa yang dikatakan Kazuhiro. Miyuki sangat-amat takut dengan yang namanya mayat--seonggok tubuh tak bernyawa. Dia lebih percaya dengan takhayul dan makhluk abstrak dibandingkan dengan dunia ilmu pasti. Tangannya selalu bergetar apabila ia sedang memotret seonggok tubuh tak bernyawa itu. Lalu malam harinya, dia tidak bisa tidur karena gambar mayat itu selalu terputar dengan jelasnya di memori otaknya seperti sebuah roll film. Dan, dirinya berakhir dengan tidur di samping Kazuhiro--sahabatnya.

            Tetsuyama Kazuhiro merupakan seorang detektif polisi yang terkenal dengan analisisnya yang tak pernah meleset sedikit pun. Juga terkenal dengan ketampanannya yang menggila itu. Garis rahangnya tegas, seperti dipahat tangan-tangan profesional. Rambutnya acak-acakkan. Dia tidak sudi menata rambutnya menjadi klimis atau rata dan mengkilap.
            Sedangkan Sawamura Miyuki adalah seorang pemotret mayat sekaligus partner Tetsuyama Kazuhiro. Miyuki adalah orang yang sangat teledor dan pelupa. Dia suka meremehkan orang lain. Memandang sebelah mata saja.
            Keduanya memutuskan untuk tinggal bersama sejak kedua orang tua Miyuki meninggal. Awalnya, Miyuki berniat untuk mengontrak sebuah rumah, dan di saat itulah Kazuhiro menulis takdirnya sendiri. Mengikuti gadis itu ke mana pun, dan saat gadis itu telah menemukan sebuah kontrakkan, Kazuhiro akan segera menelpon pemilik kontrakkan itu dan menyuruhnya untuk menaikkan harga setinggi-tingginya.
“Ck, apa masalahnya dengan--
“Jangan membantah. Lupakan ini. Siapkan pakaian dan barang-barangmu. Kita akan segera berangkat,” potong Kazuhiro dengan sebuah titahan yang tak terbantahkan. Miyuki menghentakkan kakinya sebal. Beginilah jika sifat suka memerintah Kazuhiro kambuh. Tidak ada alasan untuk membantah titahan itu. “Jangan lupa bawa revolver dan pisaumu.” Perkataan itu membuat Miyuki batal melangkahkan kaki ke kamarnya. Dibaliknya tubuhnya dengan kesal.
“Aku tidak mau membawa dua alat terkutuk itu! Oh, ayolah! Kita ke sana untuk berlibur atau untuk bertempur, hah?”
“Tidak ada bantahan.” Ya, enak sekali Kazuhiro berbicara! Miyuki yang tidak mau berdebat lebih lanjut memilih untuk mengalah.
            Tidak ada gunanya mendebat perkataan pria aneh itu. Miyuki memang menolak mentah-mentah untuk membawa dua alat terkutuk itu. Tapi, setelah dia sampai di tempat tujuan, ia akan menemukan kedua senjata itu terselip di barang bawaannya. Ya, siapa lagi pelakunya kalau bukan Kazuhiro?
~*~
Tokyo, 30 Oktober 2014 (Hari kejadian)
            Marutake ebisu ni oshi oike. Ane-san rokkaku tako nishiki. Shi-aya bu taka matsu man gojyou. Setta chara chara uonotana. Rokujyou hijyou toorisugi. Hachijyou koereba touji michi. Kujyou oujite todomesasu
“Berisik! Suaramu sangat sumbang, Miyuki!”
“Aku kan hanya menyanyikan lagu Temari dari Kyoto. Lirik lagu itu merupakan nama-nama jalan yang berada di Kyoto. Apa salahnya?”
            Kazuhiro masih mengingat jelas apa yang digerutui Miyuki pagi itu. Tadi pagi, gadis itu sangat bersemangat walaupun Jepang sedang menghadapi ‘Late Autumn.’ Miyuki masih sempat mengomel soal penginapan yang disewa Kazuhiro memiliki alat pemanas yang rusak. Tapi, setelah kejadian penemuan mayat siswi itu, gadis itu mendadak muram. Keringat dingin keluar dari seluruh tubuhnya. Saat menemukan mayat diantara semak-semak, gadis itu menjerit ketakutan. Lebih kencang dan histeris dari yang sebelumnya. Maklum, baru pertama kali ia melihat mayat sendirian. Biasanya ada Kazuhiro di sampingnya.  
Sepertinya, ketakutan gadis itu terhadap mayat semakin bertambah,’ duga Kazuhiro dalam hati. Entahlah, Kazuhiro juga tidak tahu kenapa hatinya menjerit sedih.
~*~
            “Korban adalah Mayuzumi Kanae, usia 16 tahun. Menurut informasi, ia tinggal di Apartemen Satoe di dekat sini bersama keluarganya. Tampaknya ia baru ingin berpergian. Coba lihat!” Komandan Takako menunjuk pakaian yang dipakai korban. Sebuah kemeja bergaya country dengan rok mini berbahan denim.
            TKP--Tempat Kejadian Perkara--berada di sebuah taman yang seharusnya dipenuhi dengan orang-orang yang ingin menikmati keindahannya, bukan mati penasaran karena kejadiannya. Tampak seseorang, bahkan dua orang yang tak asing bagi pihak kepolisian melewati garis kuning polisi bertuliskan ‘Dilarang Masuk’ dengan seenaknya. Lelaki itu menarik paksa gadis berkalungkan kamera DSLR dengan kuat.
“Sudah kubilang jangan membawaku ke sini lagi, bodoh!” geram Miyuki.
“Tugasmu adalah seperti ini, Baka! Cepat ikut denganku!”
“Sekali lagi kau memaksaku, kau akan kukubur hidup-hidup!” bentak gadis itu geram dengan nada yang hampir mencapai oktaf ke-7.
            Mayuzumi Kanae adalah teman sekolah Kazuhiro dan Miyuki. Memang, Kanae  tidak pernah bertegur sapa dengan Kazuhiro. Bahkan, pria detektif itu pun tidak ingat jika si korban adalah teman sekolahnya.
            Jasad korban berada di antara semak-semak taman; posisinya tengkurap, dengan kaki dan tangan yang terbuka. Banyak bercak darah di baju yang dipakai olehnya. Tapi, tidak ada sedikitpun jejak kaki maupun bekas darah yang membawa mereka ke tempat asalnya. Kazuhiro yang sudah siap dengan TKP berdarah tetap menggegam erat pergelangan tangan Miyuki. Pegangan yang mempunyai kesan lain. Terkesan protektif dan mencoba untuk menguatkan Miyuki yang berada di sampingnya. Tampak Miyuki bergidik ngeri dan mengumpat ketika melihat mayat yang ditemukannya sendiri.
~*~
            Tidak lama dilakukan autopsi. Beberapa hal penting menjadi semakin jelas. Pertama, waktu perkiraan kematian, diperkirakan sekitar pukul 11 pagi. Penyebab kematian, adalah dipukul dengan sesuatu yang keras. Untuk sementara waktu, semua orang yang memiliki sangkut pautnya dengan pembunuhan Kanae dikumpulkan,  termasuk Miyuki.
“Apa harus aku digolongkan menjadi ‘tersangka’, Kazu-chan? Apakah tampangku ini memiliki kesan sebagai ‘tersangka’?” Pekikkan polos itu terdengar.
“Ya, kau memang pantas menjadi tersangka, Baka,” ucap pria itu dengan senyum anehnya itu. “Tidak-tidak, itu hanya bercanda. Kau adalah saksi, Miyuki. Bagaimanapun, kau adalah orang pertama yang menemukan mayat itu,” lanjutnya.
“Sudahlah, cepat bicarakan inti masalah tentang Kanae. Jangan biarkan waktuku terbuang hanya karena kalian,” dengus salah satu lelaki dengan santai. Terkesan menggoda.
            Interogasi dilakukan dengan sekelumit pertanyaan yang keluarkan dari mulut Komandan Takako, detektif dari pihak kepolisian wilayah Tokyo. Tersangka pertama adalah Saionjie Yusuke, mantan kekasih Kanae yang selalu dicampakkan oleh korban. Ia memiliki alibi yang sempurna, dengan keberadaannya di caffe bersama teman-temannya.
            Tersangka kedua adalah Inou Shizuka, sahabat korban, sekaligus kekasih Yusuke sekarang. Keberadaannya disaat waktu kematian korban adalah di rumah seorang diri.
            Tersangka ketiga adalah Katsumata Sachiko, hanyalah teman sekelas korban. Dulu sempat mengagumi korban, namun itu dulu. Posisinya adalah di perjalanan pulang, dan Sachiko adalah orang terakhir yang bertegur sapa dengan korban.
“Jadi, apa maksud dari ini?”
~*~
            Testuyama Kazuhiro tampak duduk santai di gazebo villa dengan menggenggam segelas anggur yang belum disentuh oleh mulutnya sama sekali. Menikmati semilir angin malam yang mulai merasuki tubuhnya. Pikiran lelaki itu terbang jauh, memikirkan pembunuhan tadi  yang disimpukannya berkedok percintaan.
“Hei, Kazu-Chan. Kenapa kau melamun, hah?” ujar Miyuki, menjatuhkan punggungnya ke sisi belakang bangku.
“Tidak. Aku hanya bingung dengan pembunuhan yang berbeda dari yang biasanya.”
“Berbeda? Apa yang kau sebut dengan ‘berbeda’ itu? Bukankah memang suatu pekerjaanmu untuk menikmati indahnya TKP pembunuhan?”
“Korban itu berlumuran darah. Namun, tak ada bekas jejak apa pun, entah kaki ataupun jejak darah”
“Lalu, apa yang kau bingungkan?”
“Coba kau bayangkan, mana mungkin ada orang sekarat dengan darah yang bercucuran namun ia berjalan kabur, tanpa ada jejak,”
“Bagaimana jika orang itu memang sudah tidak memiliki kekuatan?”
“Maksudmu?” ucap Kazuhiro penuh penasaran.
“Ya, apakah kau tak bisa berpikir peluang lain? Bukankah manusia sekarat takkan memiliki kekuatan seperti kita, Kazu-chan?”
“…..” Tak ada jawaban apapun dari Kazuhiro. Ia hanya diam terpaku, mencerna segala perkataan Miyuki, yang memang ada benarnya.
“Bagaimana dengan pelakunya? Apa kau sudah mengetahuinya?”
“Ini sedikit sulit. Tapi, dapat disimpulkan adalah pembunuhan berkedok percintaan.” Gadis itu tersenyum misterius. “Mengapa kau dengan mudahnya menyimpulkannya dengan kedok percintaan?”
“Masing-masing dari mereka memiliki hubungan percintaan,”
“Baiklah, aku memang bukan seorang detektif sepertimu. Tapi, akankah kau saat ini lebih bodoh dibandingkan aku? Okelah, menurut analisismu siapa pelakunya?”
“Yusuke adalah satu-satunya tersangka yang memiliki motif paling kuat. Dan untuk alibi, bisa saja ia berkerja sama dengan teman temannya untuk berbohong,”
“Motif Yusuke memang paling kuat. Namun, alibinya lebih kuat, Kazu-chan. Sedangkan, Shizuka motif pembunuhannya memang bisa digolongkan lemah dan alibinya pun tidak sempurna. Dan Sachiko, ia tidak memiliki motif, dan alibinya pun lemah.”
“Kau menjelaskan panjang lebar seperti itu, tetapi sama sekali tak memberi solusi.  Apa kau mencurigai Sachiko? Atau kau mencurigai Shizuka? Tidak, dia sama sekali tak memiliki motif untuk membunuh Kanae. Selain itu, dia anak yang pintar dan baik.”
“Tetapi, kenyataannya terbalik. Sachiko yang terlihat seperti orang baik itu ternyata adalah pelakunya. Apa kau lupa? Sachiko selalu menjadi juara di perlombaan Praktikum Sains. Namun, kali ini Kanae yang menggantikan jabatan pemenang itu. Alibinya sedang ada di perjalanan pergi ke toko baju, tapi mengapa tas bawaannya penuh dengan buku-buku? Bukankah ia ingin pergi ke toko baju? Dan jika memang ingin ke toko baju, mengapa ia hanya membawa uang sedikit dan tidak membawa--
“Sawamura, kau bodoh sekali! Mana mungkin pelakunya orang itu, hah? Baka!”, potong Kazuhiro dengan sebuah berangan.
“Berhentilah memanggilku ‘baka’, Kazu-chan! Kau tidak menyadari dirimu juga baka, hah? Aku ini benar, setidaknya analisisku kali ini benar! Kenapa kau tidak percaya sama sekali?”, teriak gadis itu kesal. Gadis itu berdiri, mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya dan sepatunya.
            TREEK.. Kedua bola mata Kazuhiro yang menggelap karena amarah mengikuti arah jatuh kedua benda itu. Revolver, dan pisau. Itulah benda yang dilempar Miyuki dengan kesal.
“Kau—“, desis Kazuhiro marah.
“Aku sangat membencimu! Tidak akan ada yang berani menyakitiku karena jabatanku, Tetsuyama! Kau sangat over protektif! Cukup! Aku rasa tidak ada persahabatan yang seperti ‘ini’, Tetsuyama!” Tidak ada kata gengsi lagi di pikiran gadis itu untuk saat ini. Ia tidak bisa menahan air matanya, dan itu wajar. Ia berlari meninggalkan Kazuhiro yang terkejut atas semua perkataan dan tindakkan gadis itu. Pemuda itu memegang dadanya. Ada lubang hitam di hatinya. Menyedotnya ke dalam rasa sakit—tanpa ampun.
~*~
             “Kazubaka, kau bodoh bodoh bodoh! Baka!”, raungnya disertai dengan isakkannya yang bertambah kencang, tanpa ampun. Ia tak mau tahu, ke mana kedua kakinya akan melangkah.
“Kau juga bodoh, Nona!” Perkataan itu membuat tubuh Miyuki membeku. Kedua matanya terbelalak lebar tatkala ia melihat seseorang berdiri dengan angkuh dan kejamnya. Orang itu, pembunuh kejam itu.
“Akhirnya, kita bisa bertemu di sini, Nona Miyuki. Ah, lebih tepatnya dalam keadaan berdua. Sangat menjaga privasi, benar?” Seringai setan orang itu timbul. Membuat Miyuki yang melihatnya bergidik ngeri.
Miyuki mengumbar senyum sinis, terlalu dipaksakan. “Kau—kenapa kau membunuhnya, hah?”, bentak gadis itu berusaha untuk tegar.
“Kau sudah mengetahuinya?” Orang itu mengumbar senyum sinis. “Aku tidak percaya. Ternyata, orang bodoh sepertimu bisa mengetahui siapa pembunuh sebenarnya,” remeh orang itu.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan kepadaku setelah aku mengetahui semuanya, Tuan Pembunuh?”
Orang itu tersenyum setan. “Kau tidak tahu? Benar-benar tidak tahu?”, katanya licik. Gadis itu membisu. “Tentu saja aku akan memperlakukanmu sama dengan aku memperlakukan orang tidak tahu diri itu. Mungkin lebih kejam.” Orang itu merangsek maju. “Apa kau ketakutan, Nona?”
            Melangkah mundur. Itulah yang gadis itu berikan sebagai sebuah jawaban dari pertanyaan itu. ‘Kazuhiro tolong aku!’, jeritnya dalam hati. Hah, untuk apa dia meminta tolong seperti itu? Bukankah dia yang telah meminta Kazuhiro untuk menjauhinya? Revolver? Pisau? Ke mana perginya kedua alat terkutuk itu? Oh, sudah dia buang—tepat di hadapan sahabatnya itu.
            SREET.. Orang ‘gila’ itu menarik tangan gadis itu yang berdiri tidak jauh darinya. Perbandingan yang sangat menonjol. Miyuki berjalan mundur seperti siput, sedangkan pembunuh itu merangsek maju secepat jaguar.
            Dingin. Bukan pisau, tapi pistol. Tak perlu dipungkiri bahwa pembunuh ‘kotor’ seperti dirinya mempunyai sebuah pistol. Lebih wajar jika dirinya mempunyai pistol lebih dari satu.
‘Maaf, maaf, maaf. Maafkan aku, Kazu-chan.’
 “Kami-sama memang adil, bukan?
            DOOORR!! Suara tembakkan yang terdengar kejam itu terdengar. Membuat Miyuki berjengit kaget. Tapi, ia tidak merasakan apa pun. Perlahan, kedua matanya terbuka dengan ragu. Orang yang menyandranya telah tersungkur dengan luka tembakkan di paha. Kasihan? Untuk apa? Toh, dia juga pernah membunuh orang. Saat ini, seharusnya Miyuki mengatakan, ‘Kami-sama benar-benar adil, bukan?’
“Jangan pernah menyentuhnya! Aku tak akan mengizinkanmu untuk menyentuhnya sedikit pun!”, berangan seseorang membuat Miyuki sadar dari sikap patungnya. Miyuki dengan kakinya yang bergetar bangkit dari sikap duduknya. Ia berjalan—tidak bisa berlari karena masih ketakutan.
DOOR!!
“Miyuki!”
~*~
Sebuah berita dari Tokyo, 30 Oktober 2014.
Kabar terbaru datang dari Tokyo. Seseorang meninggal akibat luka tembakkan. Polisi masih menindak lanjut mengenai kejadian ini. Seorang pembunuh bernama—
            TIIIT.. Seorang gadis dengan balutan perban di lengan kanannya, mematikan TV dengan kesal.
“Ohayou Miyubaka! Apa kabarmu, hah?” Suara baritone dan merdu itu, suara yang selama ini telah menempati sisi di hatinya. Siapa lagi kalau bukan Kazuhiro? Lelaki tampan itu sedang mengenakan mantel tebal berwarna abu-abu tua dan juga ada beberapa butiran salju di rambutnya. Sepertinya, Kazuhiro tidak pulang karena sejak kemarin, ia menunggu gadis itu sadar.
“Kazu-chan, kenapa kau begitu emosian, hah?” Kazuhiro memasang raut wajah tidak mengerti. “Kau--”, ucap Miyuki parau. “Kenapa kau membunuhnya, hah?”
“Apa aku salah? Aku panik dengan keadaanmu waktu itu.  Pembunuh itu menembak lengan kananmu dan spontan aku membalasnya. Aku hanya menembak lengan kanannya, kaki kanannya, paha kiri dan jantungnya. Balasan yang tepat untuk seorang pembunuh,” jawab pemuda itu enteng. Dan bersamaan dengan itu, sebuah bantal dengan aroma rambut gadis itu yang khas, mengenai wajahnya. Tepat sasaran. “Astaga, kau masih saja bertingkah laku aneh seperti ini, ya?”, decak pemuda itu sebal. “Sini perbanmu harus diganti,” ucap Kazuhiro lembut. Pemuda berkulit pucat itu duduk di sisi kiri ranjang inap gadis itu. Perban itu ia buka dengan hati-hati. Semua perlakuannya saat ini bagaikan dirinya sedang membawa boneka keramik yang mudah pecah.
“Untuk apa, hah? Aku bisa memanggil Kaito-kun untuk membantuku. Ah, semenjak itu, Kaito-kun menyadari jika aku mengidolakannya. Astaga, dia benar-benar tampan!”, ucap Miyuki berbangga hati. Tidak, tidak, dia tidak bisa begini. Gadis bernama Miyuki itu seperti nikotin. Hanya membau aroma khas gadis itu bisa menarik Kazuhiro lebih dalam ke dalam pesona gadis lugu itu.
“Ck, kan aku sudah bilang, perbanmu tidak boleh diganti siapa pun. Orang tuaku sedang berada di dalam perjalanan dari Sapporo, Hokaido.” Perban putih yang telah ternodai itu berhasil dibuka. Kazuhiro memberikan obat merah dan beberapa obat lainnya di atas luka tembak itu. “Kau tahu, untung saja timah panas sialan itu tidak bersarang di lenganmu.”
“Dan kau tahu, kau hampir saja memasukkan orang yang tidak bersalah ke dalam penjara,” balas Miyuki masih marah.
“Hei, gomenne.”
“Haha, kau mengatakan kata ‘maaf’ hah Tuan Detektif yang selalu mengaku dirinya tidak pernah melakukan kesalahan dalam analisis? Apakah kiamat sudah dekat?”, ejek Miyuki. “Kazu-chan, kau--” Miyuki tersenyum manis, membuat Kazuhiro yang mencuri pandang ke arahnya menjadi salah tingkah. ‘Kau membuatku melayang, Kazu-chan“Kau bodoh. Kenapa sampai mengalami kesalahan analisis seperti itu, hah? Kalau pembunuhnya tidak tertangkap dan berkeliaran di dunia luar bagaimana nasib negri, hah? Baka!” “Mulai saat ini, kau harus percaya dengan sahabatmu sendiri, Kazu-chan!”
“Kau yakin menyebut ini sebagai sebuah persahabatan?”, gumam Kazuhiro tidak jelas.
“Hei, apa yang kau katakan, Kazu-chan? Aku tidak mendengarnya.”
“Tidak. Bukan apa-apa. Sekarang makan!”
“Hei, kau mau membuatku mati dalam keadaan gendut, hah? Itu banyak lemaknya, Kazu-chan! Kazu—kau benar-benar—Hasya! Jangan seperti itu! Aku tersedak!” “KAZU-CHAN!!”
post signature

2 komentar

  1. hay aku @dsianakd
    tentang cerpen ini sebenernya genrenya bagus ya antimainstream gitu hehe tapi alangkah lebih baiknya kalau genrenya tetep dibuat mainstream tapi jalan ceritanya yang dibuat antimainstream misal dengan ending yang sulit ditebak atau konflik yang sangat memacu adrenalin agar pembaca *di sini yang dimaksutkan saya pribadi* lebih bisa menikmati cerpennya.

    BalasHapus
  2. Hallo, aku @gi_author.
    Cerpen ini unik. Cuma, karena ada beberapa penggunaan tanda baca yang kurang tepat, jadinya saat membaca agak terganggu. Overall, ini menarik. :)

    BalasHapus

Tinggalkan jejak yuk ^^ Jangan pelit- pelit~ ❤