Kabar Naskah Pertamaku di DPS Gramedia
Pernah nggak sih kamu punya momen di mana kamu akhirnya nekat ngelakuin sesuatu yang dari dulu cuma ada di angan-angan? Di bulan pertama tahun 2025 aku ngalamin hal itu. Aku sempet tulis di blog ini (klik di sini kalau mau throwback) gimana akhirnya aku memberanikan diri buat kirim naskah pertamaku via DPS Gramedia. Rasanya waktu itu campur aduk banget. Antara excited, nervous, dan agak nggak percaya diri. Nano-nano deh. Tapi aku tahu, kalau aku nggak coba, aku nggak akan pernah tahu. Dan aku pikir, yaudah, kirim aja dulu, urusan nanti diterima atau nggak itu belakangan.
Nggak kerasa, tiba-tiba aja udah delapan bulan lewat sejak aku kirim naskah via DPS. Bayangin, delapan bulan yang penuh dengan “what if”, rasa penasaran tiap kali login ke portal DPS Gramedia, hingga niatan ingin coba kirim terus selama masa tunggu naskah (yang akhirnya hanya wacana belaka.)
Seiring waktu berjalan, status naskahku di DPS berubah-ubah. Kalau belum familiar, sistemnya gini: setiap naskah bisa dikirim ke maksimal tiga penerbit. Apabila ditolak satu penerbit, maka naskah otomatis dilempar ke penerbit selanjutnya. Jadi prosesnya kayak estafet.
Lalu, apa yang terjadi kalau naskah dilempar ke tiga penerbit terus tiga-tiganya nggak ada yang nerima? Nasibnya akan berakhir di bank naskah. Mau disimpan atau dihapus, terserah pilihan pemegang karya.
Timeline versiku:16 Januari 2025 : Naskah masuk ke Gramedia Pustaka Utama Anak16 April 2025 : Naskah dialihkan ke Bhuana Ilmu Populer2 Mei 2025 : Naskah dialihkan ke M&C31 Juli 2025 : Naskah resmi ditolak
Kalau ditanya rasanya gimana? Sejujurnya… plong.
Aku kira aku bakal down, bakal nangis di pojokan kamar, atau bahkan berhenti nulis lagi. Tapi ternyata nggak. Aku justru merasa lega. Kayak penantian panjang delapan bulan itu akhirnya selesai. Karena selama hampir delapan bulan itu, aku hidup dalam tanda tanya. Akan diterima nggak? Atau apa bakal nyangkut di sistem aja? Semua pertanyaan itu akhirnya dapet jawaban.
Dan jawaban itu, meski berupa "ditolak", tetap bikin aku (semoga aja) bisa melangkah maju. Aku sadar, ditolak bukan berarti gagal. Ditolak berarti aku udah berani mencoba. Kalau aku nggak pernah kirim, aku nggak akan pernah tau prosesnya kayak gimana. Sekarang aku udah dapet gambaran: ternyata proses seleksi naskah di penerbit mayor memang panjang, ketat, dan butuh mental baja.
Jujur, kalau aku setiap hari buka DPS dan nge-refresh status naskah, mungkin aku bakal kepikiran banget. Untungnya aku milih buat let it go. Mungkin dua minggu pertama ada kali tiap hari buka DPS, tapi semakin berjalannya waktu, kebiasaan itu perlahan memudar. Kadang aku baru ngecek setelah berbulan-bulan, dan itu menyelamatkan kesehatan mentalku. Bayangin aja, delapan bulan itu kalau ditungguin tiap hari pasti kerasa kayak delapan tahun.
Kalau ada yang nanya, “Apa aku nyesel udah kirim naskah lewat DPS Gramedia?” Jawabannya: nggak sama sekali.
Justru aku bersyukur punya pengalaman ini. Walaupun naskahku akhirnya cuma berakhir di bank naskah, at least aku tahu rasanya. Dan aku yakin banget, setiap percobaan akan ngasih aku pelajaran baru. Sekarang, setelah lewat fase "penolakan tiga kali", rasanya semangatku cukup meningkat dari biasanya. Aku pengen segera kirim naskah lain lewat DPS. Aku udah punya beberapa ide yang please-jangan-jadi-ide-doang dan draft yang ngantri buat dipoles. Siapa tahu ada yang cocok sama kebutuhan penerbit. Aku tau, nggak ada jaminan naskahku bakal diterima, tapi setidaknya aku terus bergerak.
Aku pengen bikin siklus yang sehat: nulis – kirim – lupakan – nulis lagi. Dengan begitu, aku nggak gampang kehabisan energi cuma gara-gara satu naskah ditolak. Lagipula, siapa tahu, suatu hari nanti aku buka DPS lagi dan liat status "naskah diterima". Bayangan itu aja udah cukup bikin aku senyum.
Posting Komentar
Tinggalkan jejak yuk ^^ Jangan pelit- pelit~ ❤