Dream in Love [Part 2]

11 Agustus 2013


Title: Dream in Love
Author: Selsara (@vyselvia)
Genre: Romance, friendship
Rated: General
Length: Chapter 2/?
Casts: Iqbaal (Coboy Junior), Hani, Rara, Risti
Pemeran pelengkap: Syifa, Dhea

Dukk! Aku menabrak seseorang atau seseorang itu yang menabrakku, entahlah. Jam tangan orang itu jatuh. Sepertinya dia sibuk melepas jam tangan tersebut hingga tak sengaja menabrakku. Aku bantu mengambil jam tersebut. Tangannya juga berusaha meraih jam itu. Ketika sadar tangan kita bersentuhan, dia menarik tangannya. Jam berwarna hitam tersebut menjadi kotor. Aku membersihkannya sampai aku sadar bahwa aku sudah wudhu. Batal deh! “Maaf ya, aku nggak sengaja,” katanya meminta maaf. Suaranya bagus sekali seperti suara penyanyi terkenal. Tatapan yang dari tadi fokus hanya ke jam tangan sekarang kualihkan ke pemiliknya. 
“Heh? Kamu??” aku nggak percaya dengan apa yang kulihat. Ini seperti mimpi. Begitu tak percayanya, aku malah menjatuhkan jam tangan tersebut.
Cowok itu tersenyum.
          “Kamu Iqbaal kan?” jari telunjukku mulai bermain peran. Aku menunjuk-nunjuk ke arah cowok itu. Tidak percaya kalau orang yang dikagumi sejak lama ada di depan matanya.

          Dia membalas dengan senyuman. “Iya,” tangannya mulai menjamah ke permukaan dan mengambil kembali jam tangannya. “Aku duluan ya. Maaf yang tadi,” ucapnya seraya meninggalkanku.
                Aku masih diam di depan. Melongo terdiam. Seperti mimpi. Beberapa saat kemudian, aku tersadar bahwa aku harus mengulang wudhu. Aku langsung ke tempat wudhu kemudian melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibanku.
          Ketika aku sudah selesai melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibanku, aku langsung bergegas keluar masjid dan mencari batang hidung seseorang. Seseorang yang secara kebetulan aku temui tadi. Seseorang yang sudah kuidolakan sejak dulu. Namun, biar kedua mataku menjelajah tempat sekitarku tetap saja hasilnya nihil. Dia tidak ada.
***
                Pagi pun menyapa. Kicauan burung yang merdu saling beradu menunjukkan suaranya. Aku merenggangkan tanganku sekadar merelaksasi diri. “Hoammm…” ini masih pagi tetapi mbak Syifa bersemangat sekali membangunkanku. Padahal hari ini hari Minggu. Seharusnya kan hari Minggu itu waktunya untuk bersantai bukan? Lah ini malah …
                “Mbak Syifa, aku jalan-jalan ke luar dulu ya,” kataku ke seorang cewek yang sedang menyelai roti tawar di ruang makan. “Iya, hati-hati. Jangan keluyuran lama lama,” ucapnya memberi petuah. Aku hanya tutup telinga.
                Kuhirup udara segar yang melalangbuana. Lingkungan di sekitar sangat asri membuatku harus bersyukur bisa tinggal di tempat ini. Aku melangkahkan kaki berjalan tanpa arah. Hilir mudik kendaraan roda dua dan empat terus ada di indera penglihatanku. Menurutku, jaman sekarang anak muda jalan kaki itu langka. Entah karena capek, dikira nggak gaul, dan sebagainya.
                “Huah… aku suka tempat ini,” pujiku dalam hati.
                “Baal… Baal…” teriakan itu membuatku sontak mencari-cari dimana sumber suara itu berasal. Teriakan-teriakan lain juga saling beradu. Tidak mau kalah satu sama yang lain.
                “Baal.. jangan jangan itu Iqbaal ku,” piker di benakku. Aku segera berlari kecil ke rumah penghasil teriakan tersebut. Gila, kerumunan orang ada di halaman rumah berwarna oranye muda itu. Perasaan ini masih pagi kenapa sudah banyak orang di depan rumah. Jangan jangan memang beneran Iqbaal Coboy Junior lagi.
                “Permisi, tante. Permisi, mbak. Permisi, kak. Permisi, dek,” aku mencoba untuk ke barisan paling depan. Namun ternyata usahaku sia-sia. “Antri ya, mbak,” ucap tante yang entah namanya siapa.
                Perasaan dari kemarin malam usahaku selalu sia-sia. Huh. Rumah itu memang cukup besar dan berpagar. Aku jongkok di depan pagar, berusaha menunggu sampai kerumunan orang bubar. Sejam menunggu bukannya orangnya semakin sedikit ini malah makin banyak. Terlihat mbak Syifa melambaikan tangannya padaku disusul dengan suara teriakan “PULANGGGG!” dan alhasil terpaksa harus kembali ke rumah. Menunggu keajaiban kapan bisa bertemu Iqbaal dari dekat lagi. Iya…lagi.
***

                Hari pertama aku masuk sekolah baru…
                “Assalamualaikum, anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru,” kata Ibu Avi , selaku wali kelas sekaligus guru mata pelajaran pertama yaitu matematika.
                “Cewek kah cowok, Bu? Kalau cewek cantik nggak?” celetuk Dion, murid yang mendapat predikat paling ribut di kelas.
                “Iya, Bu. Ceweknya juga sholeh nggak?” tanya murid yang lain menggebu-gebu.
                “Sudah..sudah.. Silahkan, Hani, masuk dan langsung memperkenalkan diri,” pinta wali kelas baruku menyambut.
                Sedikit grogi aku bergerak maju selangkah demi selangkah. Aku sedikit menunduk sesekali melihat seisi ruangan kelas.
                “Namaku Hanifa Azizah. Panggil saja Hani. Dulu aku tinggal di kota kecil di Jawa Barat. Alasan aku ke Jakarta karena aku adalah Comate dan untuk masa depanku,” kataku mantap tanpa terputus-putus.  “Salam kenal semuanya,”
                Seseorang tersenyum mendengar alasan yang rada gila itu. Tiba-tiba Dion nyeletuk, “Kalau ada personil Coboy Junior satu kelas sama kamu, gimana?”
                “Langsung sujud syukur,” jawabku ceplas ceplos dan yang lain merespon dengan tertawa. Entah menertawakan apa.
                Seseorang melambaikan tangan, “aku disini,” dan seisi kelas langsung berseru ‘cie…cieee…’.
                Sadar akan yang janji yang sudah terlontar, aku langsung sujud syukur. Asli langsung gemetar kalau bicara di depan kelas dengan kondisi begini. Ah…karena aku SATU KELAS sama Iqbaal. Gimana nggak shock? Gimana nggak merinding? Asli senang banget!
                “Hani, silahkan kamu duduk di bangku yang kosong itu ya,” perintah Bu Avi dengan gerakan tangan yang mendukung.
                Aku segera duduk di bangku yang dimaksud. “Hai, kenalin aku Hani,” tegurku duluan sambil menyodorkan tangan. “Aku Rara. Udah tau kok,” dia menjabat tangan sebentar dan langsung dilepas cepat. Aku hanya membalas dengan senyuman meskipun aku yakin Rara tak mungkin melihat itu.
                “Hei!” teman depan bangkuku mengarah ke aku. Dia menyapaku. Ya…aku langsung grogi dan seketika jadi orang gagap. Gimana nggak gagap kalau yang nyapa duluan itu……Iqbaal.
                Entah kesambet apaan jadi ngomong nggak jelas gini. “Engg… iya ehhh engg hei juga,” balasku malu.
                “Santai aja kalau sama aku. Hahaha” kata Iqbaal sambil tertawa kecil. Manis sekali.
                Rara menatapku sejenak dengan ketus. “Ssst… Berisik! Dengarin Bu Avi lagi menerangkan coba,”
                “Ok!” kataku kecil sambil menaikkan jempol kananku ke atas. Iqbaal pun langsung membenarkan posisi duduknya ke depan.
***

                Tengggg tengg…
                Bel tanda berakhirnya mata pelajaran berbunyi. Seluruh isi kelas bersorak senang. Meja penuh dengan buku-buku. Mulai dari catatan matematika yang belum sempat selesai kucatat sampai coretan penuh angka dan huruf. Sebenarnya aku sudah pusing karena baru hari pertama sekolah sudah dikasih banyak PR namun gara-gara didepanku ada penyemangat, rasanya apapun beban di kepala langsung sirna.
                Dia menoleh ke arahku. Refleks penyakitku kumat, grogi mulai kambuh. “Nanti pulang sama-sama yuk… Aku dengar-dengar rumahmu satu kompleks sama aku. Lagipula kan nggak jauh banget dari sekolah,” ajak seorang pangeran berbehel itu. Dalam hati aku berkata dengan pede, “Ya elah, siapa juga yang bakal nolak kalau diajak pulang bareng kamu, Baal”
                “Tapi… eng… nanti fans kamu marah lagi,” kataku sok jual mahal. Padahal di ujung lidah sudah ingin berteriak IYA.
                Dia geleng-geleng. “Hahaha. Memangnya aku punya fans?” tanyanya merendah, pengen dijitak. Bogem mentah dengan perlahan mendarat mulus di kepalanya.
                “Sakit tau,” dia mengelus-elus kepalanya. Hahaha ekspresinya jauh berbeda dengan yang sering kusaksikan di layar kaca. Yang ini lebih alami karena kusaksikan langsung dari kedua mataku.
                Suasana kelas sudah sangat sepi. Hanya tinggal aku dan Iqbaal yang dari tadi ngoceh nggak karuan, Wiwi yang lagi melaksanakan tugas piket, serta Rara yang dari tadi sibuk dengan kalkulator.
                “Pulang yuk… Nanti keburu sore lagi,” ajak Iqbaal lagi. Kertas-kertas masih berserakan di atas mejaku. Aku berusaha mengumpulkan dengan cepat ketika mata Iqbaal bergerak curiga. Dia mengambil beberapa kertas dengan satu tangan.
                Dia membaca dengan seksama goresan coretanku sewaktu pak Kautsar menjelaskan materi matematika –Persamaan Linier Dua Variabel-.
                @iqbaale, akhirnya kita ketemu. Akhirnya dan akhirnya. Aku senang banget!
                Matanya langsung menatapku dengan tatapan aneh. “Segitu ngefansnya ya kamu sama aku?” tanyanya agak ketus. “Enggg… Sudahlah! Lupakan aja tulisan itu. Anggap aku nggak nulis itu semua,” jawabku nggak kalah ketus sambil merampas cowok berparas tampan di depanku. Kuremas coretan tersebut dan mencoba lakukan headshot ke tong sampah tapi gagal. Iqbaal mengambil sesuatu yang sudah kuanggap barang tak penting yang sekarang tergeletak di lantai. Ia memasukkannya ke dalam ransel miliknya.
                “Loh? Buat apa?” tanyaku dengan ekspresi heran.
                Dia masih menatapku sama dengan yang tadi. “Yuk pulang!” ajaknya di ujung pintu. Aku mempercepat gerakan dan bergegas ke arahnya dengan langkah ragu. “Yuk!”           
***
                Rasanya aku tak ingin mengenal yang namanya waktu. Aku ingin ini bisa selamanya terjadi. Aku ingin dia yang di sampingku bisa terus seperti ini. Ya! Aku ingin itu semua terjadi.
                Langkah kaki kita berjalan beriringan. Dia di sampingku. Persis! Seperti mimpi tapi ini nyata kok. Pasti nyata. Aku berhenti mendadak hingga langkah kakinya ikutan berhenti. “Aawwww!” spontan aku teriak karena mencubit pipiku sendiri sekuat-kuatnya.
                Dia menatapku dengan sorotan tajam, mungkin dikiranya saraf otakku mulai putus . “Hei! Hei, Hani! Kamu kenapa? Sakit? Enggak kok,” kata Iqbaal sambil tangan kanannya menyentuh keningku.
                Aku tertawa kecil sendiri. Biar orang lain mau menilai apa, terserah! Saat ini aku tidak memikirkan hal tersebut. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku menunduk dan berusaha mencegah airmata ini tidak jauh tapi hasilnya nihil. “Aku kira ini mimpi. Sekarang kamu di sampingku, Baal. Entah gimana rasanya Comate lain kalau jadi aku. Aku yakin pasti seneng banget!” kataku sambil menghapus airmata ini lagi.
                Dia merogoh isi ransel bagian depannya. “Pakai ini,” dia menyodorkan sapu tangan miliknya dan tanpa ba-bi-bu aku langsung mengambil itu.
                Waktu sekarang terasa berhenti berputar. Aku terus menangis walau aku mencoba untuk berhenti menangis. Dia pun hanya diam dan melihat airmataku terus mengalir. Aku malu.
               
TO BE CONTINUED

7 komentar

  1. semangat menulisnya ya :D

    oya mbak mohon maaf bisa minta bantuan isi kuesioner penelitian saya tentang belanja online disini http://goo.gl/TtxTqf

    terima kasih :D

    BalasHapus
  2. lanjut dong :')
    bacanya kayak yg nyata lho :')

    BalasHapus
  3. Terimakasih atas semua komennya ^^
    Lanjut ga yaa?

    BalasHapus
  4. Smg jadi Kenyataan!!! Amin!!! Lanjut Aja!!!

    BalasHapus

Tinggalkan jejak yuk ^^ Jangan pelit- pelit~ ❤